Pada masa awal diwajibkannya puasa, dijadikan pilihan antara puasa dan menunaikan fidyah. Bagi yang mau menunaikan fidyah saja tanpa puasa, itu baik. Namun puasa lebih baik daripada menunaikan fidyah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184).
Di Masa Awal Diwajibkannya Puasa
Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa inilah yang terjadi di masa awal diwajibkannya puasa. Di awal diwajibkannya, puasa itu masih berat. Tatkala itu diberikanlah kemudahan dengan cara yang mudah. Bagi yang berat menjalankan puasa, maka ia bisa memilih antara berpuasa atau menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin setiap kali tidak berpuasa. Namun berpuasa tetap dinilai lebih baik.
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 184). Lihat Tafsir As Sa’di, hal. 86.
Ibnu Katsir berkata, “(Di masa awal diwajibkannya puasa), orang yang sehat dan menetap -tidak bersafar- yang berat menjalankan puasa kala itu, maka ia boleh memilih antara berpuasa dan menunaikan fidyah (memberi makan). Jika ia mau, ia boleh berpuasa. Jika ia mau, ia boleh dengan menunaikan fidyah yaitu memberi makan setiap hari sekali memberi makan pada satu orang miskin. Namun jika ia memberi makan lebih dari satu orang miskin, itu baik. Adapun jika ia memilih untuk puasa, itu lebih baik. Inilah yang jadi pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Thowus dan Maqotil bin Hayyan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 54).
Mu’adz bin Jabal juga berkata bahwa di masa-masa awal diwajibkannya puasa, siapa yang mau puasa, dibolehkan. Dan siapa yang mau memberi makan pada orang miskin (fidyah), dibolehkan. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Salamah bin Al Akwa’. Ia berkata ketika turun ayat yang kita bahas. Kemudian nantinya bentuk memilih antara puasa dan fidyah akan dihapus (dinaskh). Lihat Idem, 2: 56.
Masalah naskh hukum yang dibahas dalam ayat ini akan diungkap pada ayat 185. Pada ayat tersebut dibahas bahwa cuma ada satu pilihan yaitu berpuasa.
Pembahasan di atas juga menunjukkan bagaimanakah kemudahan yang diberikan dalam agama ini ketika mewajibkan suatu hukum secara bertahap agar umatnya tidak terasa berat.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tahqiq: Abu Ishaq Al Huwainiy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H
Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.
—
Disusun menjelang ‘Ashar, 15 Ramadhan 1435 H di Pesantren DS
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom
—
Telah hadir tiga buku terbaru karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc: 1- “Bermodalkan Ilmu Sebelum Berdagang” (Rp.30.000), 2- “Panduan Mudah Tentang Zakat” (Rp.20.000,-), 3- Buku Saku “10 Pelebur Dosa” (Rp.6.000,-), semuanya terbitan Pustaka Muslim Yogyakarta (biaya belum termasuk ongkos kirim).
Segera pesan via sms +62 852 00 171 222 atau BB 2A04EA0F atau WA +62 8222 604 2114. Kirim format pesan: nama buku#nama pemesan#alamat#no HP#jumlah buku.